Keluar dari OPEC karena menjadi net importer minyak bumi, Indonesia mulai beralih pada batu bara, yang jumlahnya tergolong masih melimpah. Pemanfaatan batu bara itu tidak hanya dalam bentuk padat untuk membangkitkan pembangkit listrik tenaga uap, tetapi juga dicairkan menjadi minyak sintetis pengganti solar.
Pemanfaatan batu bara untuk otomotif sebenarnya telah dilakukan beberapa abad lalu pada lokomotif, yaitu sejak ditemukannya mesin uap. Namun, penggunaannya tidak berkembang karena bahan bakar ini menimbulkan polusi dan kurang praktis.
Sementara itu, penggunaan minyak bumi lebih menjanjikan dan prospektif kala itu. Namun, dengan melonjaknya harga minyak bumi belakangan ini, penggunaan batu bara mulai ditengok lagi.
Potensi cadangan batu bara di Indonesia disebut-sebut mencapai 36,3 miliar ton, tetapi sebagian besar, yaitu 85,2 persen, berkualitas rendah, disebut juga batu bara lignit. Sayangnya, batu bara yang bernilai kalor rendah ini tidak ekonomis pengangkutannya. Karena itu, dipikirkan untuk memanfaatkannya di mulut tambang sebagai pembangkit atau dicairkan di lokasi tambang.
Dengan teknik pencairan tersebut, batu bara mudah digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor dan dapat menekan polusi.
"Pencairan batu bara merupakan upaya untuk meningkatkan nilai ekonomis batu bara rendah sehingga dapat dipasarkan secara komersial sebagai minyak sintetis," jelas Martin Djamin, staf ahli Menteri Negara Riset dan Teknologi Bidang Energi Alternatif dan Terbarukan dalam Seminar "Rusnas Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan", Senin (11/8) di Jakarta.
Pencairan batu bara merupakan salah satu upaya men- capai sasaran energi mix nasional tahun 2025 untuk menjamin tersediaan energi untuk kepentingan nasional. Pada tahun itu, sebesar 2 persen kebutuhan energi disuplai oleh batu bara cair.
Proses likuifikasi batu bara
Dibandingkan dengan minyak, berat molekul batu bara lebih besar daripada minyak dan mengandung hidrogen lebih sedikit, tetapi lebih banyak oksigen, sulfur, dan nitrogen daripada minyak. Karena itu, batu bara memiliki densitas energi lebih sedikit daripada minyak.
Oleh karena itu, batu bara diubah menjadi bahan bakar bersih dengan densitas energi lebih tinggi dengan memisahkan sulfur dan nitrogen dan meningkatkan kandungan hidrogennya.
Likuifikasi batu bara dilakukan dengan mengubah wujud batu bara yang telah bebas abu dengan dipanaskan sampai 450 derajat Celsius dan tekanan 180 bar (satuan tekanan udara).
Produk cair dari otoklaf dipisahkan dengan alat destilasi vakum, urai SD Sumbogo M, Ketua Tim Pencairan Batu Bara Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Cairan fraksi berat hasil destilasi lalu diekstraksi dengan pelarut untuk pemisahan fraksi lebih lanjut.
Bahan bakar yang padat itu dapat dikonversi menjadi minyak fraksi berat, medium, dan ringan, untuk bahan bakar mobil dan pesawat terbang.
Teknologi pencairan batu bara itu telah dilakukan lembaga pengembangan energi Jepang (NEDO), beberapa dasawarsa lalu. Namun, teknologinya sendiri pertama kali diperkenalkan oleh F Bergius, kimiawan Jerman yang memperoleh paten produksi bahan bakar cair dari batu bara dengan memakai tambahan hidrogen pada batu bara di tahun 1913.
Mengacu pada pengalamannya, NEDO kemudian bekerja sama dengan BPPT untuk hal yang sama mulai tahun 1993. Penelitian difokuskan pada pemanfaatan sampel batu bara Indonesia dari Tanjung Enim (Sumatera Selatan), Cerenti (Riau), dan Kalimantan Timur.
Pengujian dan analisa dilakukan di laboratorium pencairan batu bara di Laboratorium Sumber Daya Energi (LSDE), Pusppitek Serpong, dan di Laboratorium Nippon Brown Coal Liquefaction (NBCL).